Yang Kembali Pulang adalah Kematian
“Dua puluh?”
Ya, brengsek! Dua puluh! Ada orang yang begitu gembira menyandang angka itu. Tapi aku..ingin kembali mengecil..ketika dunia hanya berarti nyanyian.
“Baru aja, kan Feb?” Orang menyebalkan di sampingku itu bak memamerkan permata yang tak pernah tidak diusapnya tiap pagi dan petang. Tapi aku adalah batu karang yang dengannya ia memecahkan kaca, berantak tanpa aku bisa berontak. Aku batu karang, yang orang hanya tahu aku terpancang di tengah-tengah bongkah kaca, tanpa luka.
Tapi Ibu... aku selalu mengingatmu. Aku, tidak sekadar terluka. Mungkin telah lama mati, dadaku tertancap parang.
Lalu aku hanya bisa mandi dan dengan sia-sia membasuh hatiku yang sesak oleh ceceran darah yang tidak akan pernah hilang. Aku merasa mulai tidak bisa bernapas karena darah amis itu menumpuk lalu mengering membentuk bongkahan bernanah menjijikkan. Hingga aku muak dengan hatiku sendiri. Rasanya sudah cukup lama aku tidak mengajaknya bicara. Aku jijik
Aku hanya bisa mandi, berharap kau tidak akan mencium bau busuk ini, Ibu. Aku tidak ingin kau merasakan panasnya dada ini ketika aku memelukmu malam ini, karena hanya denganmu aku bicara.
“Uangmu, di atas meja.” Ada derit pintu.
Semua orang biadab! Maaf, Ibu, anakmu ini mungkin sudah masuk menjadi kumpulan orang-orang biadab itu.
***
Aku rindu dengan perasaan gembira yang membuncah ketika pintu kehijauan yang kumal itu mulai kulihat dari kejauhan. Entah sejak kapan, perasaan itu digantikan oleh kengerian.
Aku melihatmu sudah terpejam. Aku ngeri kau akan terbangun dan menyingkap dadaku yang penuh darah dan nanah.
Tapi aku ingin memelukmu setiap malam, Ibu, untuk hari-hari yang sudah kulalui tanpamu. Untuk hari-hari yang dipenuhi dengan pengkhianatan, aku ingin menciummu. Untuk senja yang dipenuhi kebejatan, aku ingin manja padamu.
Aku ngeri dengan kotornya tubuhku yang mendamba dekapanmu yang suci. Aku ngeri, karena kudekap saja engkau, merasakan pipimu yang nyaris sudah tak ada, tapi tetap menyimpan kehangatan. Betapa lega tanganku bergumul dengan tanganmu, yang penuh dengan keriput halus tapi tetap membuatku nyaman. Aku semena-mena menikmati merebahkan diri dan mendengar degub jantungmu dari dekat, suaranya lembut merasuk ke kepalaku.
Suara derit pintu yang kukenal, mengganggu hening bersama detak jantungmu. Pastilah dia datang. Kudengar langkah kakinya yang kalau malam begini harus ia seret. Cepat-cepat kupejamkan mata, menangis di sandaranmu. Maafkan aku, Ibu.
***
Derit pintu ini hari demi hari semakin menyayat ketakutanku. Aku takut orang yang selonjor berselimutkan sarung tidak karuan itu terbangun. Aku lebih suka dia terbaring seharian dan bangun tiba-tiba menemukan malam yang akan menyeretnya lagi ke sekumpulan binatang di sudut jalan itu. Tapi Ibu, mencelanya membuatku meringis. Aku juga binatang itu, Ibu. Ibu tidak tahu, bukan? Karena aku tak ingin ibu membenciku. Aku tak mau ibu meninggalkanku, menyisakan tatapan yang mungkin mampu membuatku mati saja seketika, karena cuma ibu yang aku punya. Hanya kau kekuatanku. Maaf, mungkin ibu tidak tahu kalau Tuhan sudah tak berani lagi kusebut, seperti halnya aku tak lagi bicara pada hatiku ini yang mati. Aku hanya bisa bicara dengamu saja, Ibu.
Aku tahu kau pasti kecewa melihatku menyerah. Dulu kau begitu bangga padaku yang selalu bersemangat akan hidup seperti pagi yang selalu dimulai dengan decakan kagum embun pada semburat wajah langit jingga. Aku ingat aku sekuat itu dulu, sekuat ibu yang tidak pernah mengeluh seberapa pun peluh kau basuh, tak pernah tampak rapuh. Tapi ada kalanya waktu menghempaskan lumpur ke ulu hati kita, lalu keadaan menjadi kotor menjijikkan, membuang senyum yang dulunya ranum.
Bapak diusir oleh perusahaan kapitalis bangsat itu. Lantas bukannya malaikat penolong yang datang, malah segerombolan tikus yang menggerogoti otak warasnya. Aku jadi ingat diriku sendiri. Bapak juga tergoda dengan kenikmatan palsu yang menjanjikan berkeranjang uang. Aku ingat kau coba mengingatkannya. Apa yang kau dapat? Dampratan! Sumpah serapah!
“Lalu mau makan apa kita, hah?! Di kehidupan yang milik orang kaya ini, jangan orang susah berani-berani berulah. Diam sajalah, kau tak tahu apa-apa!”
Aku ingat betapa aku meringkuk di balik selimutku mendengar pintu hijau kesayanganku dibanting seenaknya. Lalu ibu menyendiri di dapur. Kau mungkin tak tahu saat itu aku mengintipmu menangis. Sendiri...
Sejak itu ibu tahu bahwa bapak telah bertambah jauh. Sejak itu, seakan suatu ritual, sehabis bermandikan kartu, bapak juga diracun. Itu racun katamu, Bu. Racun itu tak hanya menggerogoti otak, darah, dan tulang, tapi menggerogoti seluruh isi rumah ini.
Aku rindu kakak, Bu. Kalau dia ada di sini bersama kita, mungkin kita masih bisa tertawa. Dia akan mengajakku main kembang api yang membinarkan kelam. Seperti rintik hujan yang bercengkrama dengan bebatuan, aku pasti dibuatnya terbangun dari kematian.
Tahukah ibu, aku sudah dua puluh? Andai kakak tahu jadi apa adik kesayangannya di umur dua puluh... Tapi aku rindu, kakak, Bu. Kakak begitu muda. Tapi, kenapa Tuhan seakan tidak peduli sebesar apa kita butuh dia. Tidak ada lagi rintik hujan yang bercengkrama riang dengan bebatuan. Yang kembali pulang adalah kematian.
Ibu, aku tidak tahu apa yang dipikirkan Tuhan. Mungkin Dia pikir aku bisa sekuatmu, Ibu. Kau adalah satu tonggak yang menegakkanku terpancang. Ketika kau patah, aku pun binasa, terinjak kaki-kaki serampangan lalu lalang.
Air tidak bisa membersihkan gumpalan nanah dan darah yang menyatu ini. Hatiku merasa sakit, pedih, perih. Aku pukul dia. Pukul dia. Pukul. Pukul. Pukul! Di tengah guyuran yang sudah entah tidak jelas antara air dan air mata, aku masih bertahan. Demimu, Ibu. Seperti yang kulihat, Bu, cari kerja di negara kita ini susah. Kalau aku berhenti sampai di sini, paling-paling untuk beli kerupuk pun aku tidak akan mampu. Lalu bagaimana aku bisa mengantarkan Ibu sembuh?
Bu, aku berangkat. Iya sepagi ini, selagi bapak masih terlelap. Ah, tapi kau mulai membuka mata. Aku ingin kabur dari tatapanmu, karena aku ngeri Ibu akan mengindera noda ini, aku takut Ibu mencium bau busuk nanah yang mulai merambah ke seluruh tubuh. Tapi aku ingin menatap bening itu, Bu. Matamu yang menebarkan oase di darahku yang sedang terbakar amarah. Matamu yang selalu melihatku bersayap lebar, seperti harapan yang tak pernah usai. Matamu yang selalu berbicara kasih dan cinta. Kau menang, Ibu. Aku tidak bisa pergi.
“Jam berapa sekarang, Nak?” bibirmu nyaris tidak bergerak. Bibirmu ditumbuhi belukar bening, terlihat menyakitkan. Kuusapkan sedikit madu yang kusediakan di meja sebelah tempat tidurmu. Kerudungmu selalu melekat, karena kau tidak ingin melewatkan shalat.
Seusai kau shalat, kuajak kau makan. Ibu, aku ingin menyuapimu pagi ini dengan tanganku sendiri. Aku takut kesempatan itu lekas pergi, entah kau yang pergi, entah diriku.
Bahkan untuk membuka bibir saja kau bergetar, Bu. Aku tidak tega. Sudah sebulan ini aku tidak membawamu ke dokter. Aku janji besok kubawa dokter Ririn kemari. Uangku sudah lumayan. Ibu, maaf, uang itu.... bagaimana aku harus mengatakannya... Sebaiknya ibu tidak tahu.
“Nanti Bi Rafiah ke sini lagi untuk jaga Ibu. Febi kuliah dulu ya, Bu.” Ya, kuliah Bu, karena aku perlu sesuatu yang akan memutus lingkaran setan ini. Ah, aku malu, Bu, untuk bilang kalau aku masih menyimpan mimpi tuk jadi orang berguna. Aku benci tatanan kehidupan yang membuat Ibu tidak bisa berobat dengan murah, semua susah. Kacau, Bu. Kacau! Kekacauan ini yang membuat bapak dan gerombolan tikusnya bermain judi dengan seenaknya, dan membeli berbotol-botol minuman dengan mudahnya. Kini pula yang memudahkan orang-orang untuk menjual diri karena tempat, toh, sudah tersedia. Dan orang-orang pun apatis. Aku tidak peduli orang akan mengatai diriku munafik. Aku juga muak, Bu. Aku ingin segera keluar, berlari sejauh-jauhnya bersamamu lagi, Bu. Ayo, Bu, kita jalan dan lari lagi seperti dulu. Ibu pasti bisa. Mungkin sekarang ibu hanya masih bisa terbaring. Tapi aku yakin kita akan berjalan bersama lagi, Ibu...
Penulis: Silvia Carolina (telah dipublikasikan di Republika 15 Juni 2008)
Ps: thx mbk....bwt cerpennya...he9...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar