BINGKISAN INDAH DARI TANAH AFGAN
Judul : Dari Taliban menuju Iman
Penulis : Anton Kurnia
Penerbit : Mizan
Cetakan : II, Juni 2007
Tebal : 192 hlm
Peresensi: Silvia Carolina (Sastra Inggris, Fak.Sastra)
“Aku telah bergabung dengan apa yang kuanggap sebagai keluarga terbesar dan terbaik di dunia. Ketika kami bersatu, kami pasti tak terkalahkan.”
Adakah anda mengira bahwa yang menyerukan kobaran semangat itu adalah seorang yang memang muslim selama berpuluhan tahun? Ataukah seorang pejuang Islam yang telah lama berkutat dengan perang berdarah-darah di Palestina atau Afganistan? Jika demikian, tebakan anda salah. Tak ada yang akan pernah mengira bahwa kalimat yang begitu indah itu adalah percikan api kebangkitan seorang wartawati Inggris yang baru saja berhijrah menuju Islam.
Yvonne Ridley, nama wanita itu. Baru empat tahun yang lalu (2003) hatinya membiarkan Islam merasuki jiwa dan hidupnya, yang sebelumnya dipenuhi oleh kepentingan dan impian duniawi semata serta kebejatan minuman keras.
Cerita seorang non-muslim yang memutuskan untuk masuk Islam mungkin telah dianggap biasa. Tapi tidak kali ini. Keislaman Yvonne, wanita dengan seorang putri ini, sungguh menjadi sorotan dunia. Bagaimana tidak! Ketertarikannya kepada Islam malah dimulai semenjak dirinya tengah disandera oleh Taliban di Afganistan.
Ya. Yvonne, yang kala itu sedang bertugas untuk meliput keadaan rakyat Afganistan yang sedang menunggu invasi AS, disandera oleh prajurit Taliban karena dicurigai sebagai mata-mata musuh. Sepuluh hari Yvonne terkungkung dalam ketidakpastian pengharapan apakah dia dapat kembali memeluk putrinya, Daisy. Sepuluh hari tersekap dan hanya berharap cemas agar dentuman peluru dan misil itu tidak mengenai tempat di mana dia berada. Tapi, sepuluh hari itu adalah di mana Allah memberikan pintu hidayah kepadanya. Hari-hari yang dipenuhi dengan kegelapan itulah di mana Allah mengantarkannya pada sinar yang begitu terang benderang menyilaukan, yaitu cahaya Islam.
Buku bertajuk “Dari Taliban Menuju Iman” ini benar-benar memukau para pembaca, mulai dari judul dengan background sampul depan yang sangat representatif, hingga kisah nyata yang dikemas dengan apik. Penulis memaparkan secara lengkap kehidupan dan gerak wartawati Inggris ini baik sebelum dan sesudah “petualangan” yang kini mengubah total kehidupannya. Bahkan buku ini menceritakan pada kita kesulitan-kesulitan yang harus dilewatinya selama bertualang mencari berita di Afganistan hingga akhirnya dia ditangkap.
Buku ini tidak hanya membeberkan cerita, tapi juga memperlihatkan kepada kita bagaimana pemikiran-pemikiran skeptis seorang wanita non-muslim terhadap Islam berubah sedikit demi sedikit. Banyak hal yang dia lihat yang membuatnya terpukau. Seperti ketika dia berada dalam kampung Muslim, seorang wanita Afgan berkata, “Kami mendengar tentang apa yang terjadi di New York dan kami merasa sedih karena amat banyak orang tak bersalah tewas. Aku berharap orang-orang Amerika berpikir dua kali sebelum membom kami, tapi apa pun yang terjadi kami tidak takut.” Keluarga perempuan itu yang mengajak Yvonne makan, dia merasa terharu. Mereka hanya punya sedikit makanan, tapi mereka ingin membagi yang sedikit itu.
Dalam sebuah wawancara dia menceritakan ketika dia disekap, “Aku diberi sebuah radio untuk mendengarkan siaran BBC dan ditanyai apakah ada hal lain yang kubutuhkan. Hamid mengatakan semua orang sangat cemas karena aku tak mau makan dan bertanya apakah ada yang salah dengan makanannya atau apakah aku memiliki diet khusus atau barangkali aku lebih menyukai makanan hotel. Mereka menganggapku sebagai tamu mereka dan mereka akan sedih bila aku sedih. Aku tak memercayai hal ini. Taliban sedang mencoba membunuhku dengan kebaikan mereka... Aku bertaruh bahwa orang-orang berpikir aku disiksa, dipukul, dan mengalami perundungan seksual. Padahal, aku diperlakukan dengan baik dan penuh hormat. Ini tak bisa dipercaya...”
Jelas, keistimewaan buku ini adalah menyajikan pada kita bagaimana pada akhirnya keyakinan seorang wartawati yang tangguh ini memenuhi panggilan Allah dan Muhammad Rasulullah untuk memeluk Islam. Yvonne merasa saat-saat yang dilaluinya dalam sekapan Taliban adalah awal tumbuhnya benih-benih perubahan besar dalam hidupnya. Pandangan-pandangan Yvonne tentang Islam, terutama yang berkaitan dengan pandangan Islam terhadap perempuan mulai berubah setelah dia ditahan Taliban.
Begitu dia bebas dan kembali ke Inggris, wanita yang berlatarbelakang keluarga Kristen protestan taat ini, mempelajari Al-Quran untuk mencoba lebih memahami pengalamannya bersama Taliban. “Aku terpukau oleh apa yang kubaca─ tak satu titik atau sebuah garis pun yang berubah selama 1400 tahun... Menurutku kata-kata dalam Al-Quran amat menakjubkan dan masih relevan di zaman sekarang.”
Yvone yang dulunya adalah seorang aktivis feminis berasumsi bahwa mungkin dia akan menemukan perintah-perintah dalam Al-Qur’an yang menyudutkan perempuan. Tapi dia terkejut karena tak satu pun ayat yang demikian. Malah sebaliknya, dia menemukan ajaran-ajaran luhur bahwa sesungguhnya kaum perempuan memiliki derajat yang tinggi dalam rumah tangga. Dia semakin tertarik pada Islam dan terus mencoba memahami dengan bertanya pada sejumlah aktivis Islam dan kepada ulama di Inggris.
Dua tahun setelah dibebaskan dari Afganistan, pada musim panas 2003, Yvone dengan bulat hati menyatakan diri masuk Islam. Dia pun memutuskan mengenakan hijab dalam kesehariannya. Dia mengatakan busana muslimah justru menguatkannya, “Betapa terbebaskan rasanya karena kita diinilai berdasarkan isi otak kita dan bukan dari ukuran payudara dan panjang kaki kita.” Dia mengeluarkan tulisan yang berjudul “How I Came to Love the Veil” (2006) yang ingin membuat masyarakat mengerti bahwa sesungguhnya perempuan justru dilindungi dan dihormati. Yang paling mengesankan Yvonne lebih dari apapun adalah persaudaraan di antara sesama perempuan Muslim yang begitu erat dan menjadikannya bahagia.
Setelah pengalaman di Masjidil Haram, Yvonne mulai paham bahwa Allah mengajarkan shalat berjamaah sebagai suatu simbol agar umat tak mudah terpecah-belah. Tidak seperti saat ini, ketika umat terpecah belah, Islam pun diinjak-injak dengan semena-mena.
Dia bahkan mengerti bahwa Islam tidak hanya memerintahkannya untuk shalat semata, tapi mualaf ini pun mengerti tentang pentingnya untuk ikut masuk ke dalam garis perjuangan Islam, terutama dengan tulisan-tulisannya yang selalu tajam dan berani menyajikan fakta dan membela Islam. Yvonne juga bersikap kritis terhadap pemimpin negara muslim yang bersikap lemah dan lebih suka tunduk pada keinginan negara adidaya. Dalam tulisannya Yvonne menyebut Bush dan Blair sebagai “The Twins of Evil”. Dia juga menguak kepada masyarakat fakta-fakta jahat militer AS di Teluk Guantanamo (Kuba) dan Abu Ghaib (Irak). Yvonne menyindir Amerika dengan sebuah kalimat pedas, “Syukurlah aku dulu di tahan oleh rezim yang dianggap paling brutal sedunia bukan oleh militer Amerika!”
Sungguh, membaca buku “Dari Taliban Menuju Iman” akan memberikan kesempatan kepada kita untuk merefleksikan apa yang telah terjadi pada diri Yvonne dengan diri kita sendiri. Kita bisa saja tercengang dengan keberaniannya berada di garis perjuangan Islam, padahal baru 4 tahun sejak dia menjadi seorang mualaf. Tapi, kita mungkin akan bertanya, apakah yang telah kita lakukan sebagai seorang Muslim untuk membela agama Allah ini, setelah berpuluhan tahun memeluk Islam? Sudahkah, dengan kemampuan terbaik yang kita punya? Sudahkah?
Ps: Thx mbk silv...bwt resensinya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar