Mengukir Kecerdasan yang Penuh Cinta
“Bagaimana cerita waktu hamil? Kok anak kalian bisa secerdas itu?”
Itulah pertanyaan yang kerap dilontarkan orang pada saya dan suami.
Dan biasanya sebelum menjawab, saya dan Mas saling berpandangan, tersenyum, mengenang masa-masa itu...
Saat hamil anak pertama, saya sedang menyelesaikan skripsi sarjana, sambil bekerja sebagai redaktur suatu majalah. Saya dan Mas hidup sederhana di sebuah rumah petak dekat sungai Ciliwung. Jalan menuju rumah kontrakan kami cukup berliku dan curam. Setiap hari saya harus pergi ke kampus dan ke kantor dengan terlebih dahulu jalan kaki mendaki untuk sampai ke jalan raya. Dari sana saya harus berganti angkutan umum hingga tiga kali.
Setiap bertemu dengan para tetangga, mereka geleng-geleng kepala melihat ransel besar di atas pundak saya.
“Wah ini ibu hamil gagah banget ya!”
“Iya nih kok kayaknya segar terus, nggak ada capeknya.”
Saya lagi-lagi tersenyum. Tentu saya tahu bagaimana harus menjaga kandungan dari serangan rasa letih. Tetapi belajar dan bekerja bagi saya adalah sebuah kenikmatan sejati yang menyehatkan saya, dan yang saya yakini juga bagi calon bayi saya. Kalau sudah begitu, hilanglah semua lelah!
“Sayang, aku ingin anak kita nanti menjadi anak yang cerdas, bukan hanya secara akal pikiran, tetapi juga cerdas secara emosional dan spiritual,” kata Mas sambil membelai perut saya.
Saya mengangguk. “Aku juga ingin seperti itu, Mas. Kita berdoa dan berusaha bersama ya,” jawab saya sambil menggenggam tangannya.
Sungguh saya tersentuh. Setiap pagi, sebelum kami berangkat kerja, Mas sudah menyiapkan sarapan lengkap khusus buat saya dan calon anaknya. Makanan yang ia siapkan pun sangat menyehatkan: sayur, daging, telur, tahu tempe, lalu ada buah dan tentu saja tak ketinggalan susu Prenageun! Begitu juga kala malam tiba dan saya masih mengetik bahan skripsi, mas selalu membuatkan susu coklat hangat untuk saya.
“Kok kamu suka bicara sendiri say? Atau lagi bicara sama anak kita?” Tanya mas suatu hari.
Saya mengangguk. “Iya, Mas, aku bicara dengan anak kita.”
“Hmm, tapi masak dia juga diajak diskusi soal skripsi sarjana sastra-mu? Apa dia nggak pusing nanti?” Tanya mas lagi.
Saya tergelak. Mas juga. “Tahu gak say, anak kita sering bereaksi kalau aku ajak ngomong apa saja, juga soal skripsiku!”
“O ya?”
Saya mengangguk serius. Memang sejak dinyatakan hamil oleh dokter, saya kerap berinteraksi dengan janin dalam kandungan saya lewat berbagai cara. Saya menyentuh dan membelainya, bercerita, bernyanyi, membacakan sesuatu (sejak hamil minat baca saya meningkat dahsyat!), mendengarkannya aneka musik, dan lain-lain seolah dia ada di hadapan saya. Saya juga menceritakan berbegai hal yang saya lihat dan menyentuh perasaan saya hari itu.
“Sayang, kalau kamu sudah besar nanti, kamu tolong, kamu bela orang-orang yang lemah dan teraniaya ya. Tadi Bunda lihat nenek-nenek yang jualan diusir, di tentang-tentang di tepi trotoar. Bunda sedih. Kamu tanya apa yang bisa bunda lakukan? Ya, Bunda turun dari bis dan membela nenek itu. Tapi barang-barang dagangannya sudah hancur. Bunda juga ditertawakan. Tak apa, yang penting Bunda sudah melakukan sesuatu, meski kecil...”
“Cinta, hari ini Bunda bertemu pengamen-pengamen kecil di jalan. Tapi kalau kita beri uang terus, nanti uang itu diambil para preman yang menyuruh mereka mengamen. Jadi Bunda sengaja bawa roti unyil untuk dibagi-bagikan pada mereka. Suatu saat kita tolong mereka dengan sesuatu yang lebih dari yang bunda lakukan hari ini ya...
Apapun cerita saya, janin di perut saya selalu merespon. Itu membuat saya tambah semangat. Setiap hari saya kutipkan untuknya puisi-puisi indah dari berbagai penyair dunia seperti Gibran, Neruda, Rumi dan Iqbal. Juga puisi-puisi Chairil Anwar, Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain.
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara...
Aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak akan pernah selesai mendoakan keselamatanmu... (Sapardi Djoko Damono, Dalam Doaku).
Atau:
“Cinta, kamu tahu apa kata Pablo Neruda, penyair Chili yang meninggal saat bunda berusia tiga tahun itu tentang kita dan orang yang kita cintai? Dalam soneta 18 dia bilang : begitu dekatnya kita sehingga tanganmu yang di dadaku serasa tanganku. Begitu dekat sehingga kalau aku tidur, yang terpejam tak lain matamu...”
“Hari ini Bunda buat puisi untuk kamu. Itu lho, bunda dan ayah masih bingung mau memberimu nama siapa? Puisinya sangat sederhana, tapi dibuat dengan cinta. Dengar ya!”
Tepat 9 bulan 10 hari, saya pun melahirkan secara normal. Alhamdulillah kami dikaruniai bayi laki-laki yang sehat. Di rumah sakit itulah kami memberinya nama Abdurrahman Faiz yang berarti hamba Tuhan yang Maha Pengasih dan yang meraih kemenangan/ keutamaan. Begitu Faiz lahir saya memberikannya asi ekslusif hingga lebih dari 6 bulan.
Pada usia belum tiga tahun, Faiz sudah menampakkan bakat yang luar biasa. Saya terkejut ketika suatu pagi ia menyapa saya dan berkata: Bunda, aku mencintaimu seperti aku mencintai surga...
Faiz menulis puisi pertamanya di komputer saat ia berusia 5 tahun.
Bunda, engkaulah yang menuntunku
ke jalan kupu-kupu
engkau adalah puisi abadi
yang tak pernah kutemukan dalam buku
Sejak balita, ia pun menunjukkan empati yang mengesankan siapa saja di sekitarnya. Kalau kami sedang jalan-jalan, dengan ramah Faiz selalu menyapa semua tetangga yang kami jumpai. Kadang bahkan orang yang saya tak kenal!
Faiz juga tak sungkan memberhentikan semua tukang jualan yang lewat di depan rumah seperti tukang mainan, penjual es, penjual minyak tanah, hingga pengemis. Apa yang Faiz lakukan ? Mengajak orang-orang itu sekadar istirahat di beranda rumah!
“Mampir, Pak. Istirahat dulu, Pak. Di luar panas sekali. Mari..”
“Bapak mau minum yang dingin atau yang hangat?”
“Maaf ya, aku bukan mau beli, tapi aku mau tanya.. Jangan marah ya, Pak. Apa bapak sudah makan? Makan saja di rumah kami. Ada sop dan perkedel hari ini!”
Buku puisi pertama Faiz Untuk Bunda dan Dunia (DAR Mizan 2004) terbit saat ia berusia 8 tahun. Ia menjuarai berbagai lomba mengarang tingkat nasional, termasuk memenangkan lomba Menulis Surat untuk Presiden (2003). Dalam usia belia Faiz dianugrahi banyak penghargaan, antara lain sebagai Anak Cerdas Kreatif Indonesia tahun 2006, versi Yayasan Cerdas Kreatif pimpinan Kak Seto. Hingga kini Faiz sudah menerbitkan 6 buku ditambah 6 antologi bersama.
Namun hal yang paling kami syukuri adalah sikap empati dan penuh cinta Faiz pada sesama yang kental terasa dalam karya serta tindakannya. Saat kelas II SD, ia berkata: “Aku menulis puisi karena empat alasan, Bunda. Untuk mengucapkan diriku, untuk menyentuh nurani sesama, untuk menolong orang dan agar aku bertambah pintar.” Alhamdulillah dari royalti buku-bukunya Faiz telah pula memiliki kakak dan adik asuh sendiri!”
“Bunda, kapan ya uangku cukup, untuk membangun rumah besar bagi anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan itu?” tanyanya suatu hari.
Saya terhenyak. Pertanyaan yang sama dulu sekali, pernah saya lontarkan padanya, saat ia ada dalam kandungan saya. “Cinta, kapan ya Bunda dan Ayah bisa membangun sebuah rumah besar bagi anak-anak yang tak punya rumah dan ayah ibu itu? Kamu ikut doakan ya. Kalau sudah besar kamu perhatikan mereka ya sayang...”
“Apa karena sejak dalam kandungan kamu sering mengajaknya bicara dengan kalimat-kalimat pilihan?” duga Mas Tomi. “Karena tak ada hal selain cinta yang kita sampaikan padanya sejak dini?” katanya dengan mata kaca.
Tahun ini, setelah Faiz berusia 11 tahun, saya kembali melahirkan anak kedua. Saya mencoba hal-hal yang serupa dan bahkan lebih seru pada kehamilan kali ini. Makan dan minum yang sehat, menjaga kebugaran, terus mengembangkan wawasan saat hamil dan tetap melakukan rutinitas. Termasuk mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri. Interaksi yang intens sedini mungkin dengan janin sampai masa kelahiran (hingga sekarang!) menjadi hal yang sangat penting bagi saya. Kali ini bukan hanya saya dan suami, tetapi Faiz pun sering mengajak calon adiknya berbicara, menceritakan, membacakan sesuatu, bernyanyi bersama, dan sebagainya...
Alhamdulillah anak kedua kami, Nadya Paramitha pun lahir, Februari lalu. Kini ia sudah 5 bulan dan tampak sehat, kuat, cerdas serta penuh cinta seperti abangnya.
by Helvy Tiana Rosa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar