Gunung Es Komunikasi
Kita pasti pernah mengalami situasi dimana kita ”enak” bekerja sama dengan seseorang atau sekelompok orang dan sebaliknya juga ”tidak nyaman” bekerja dengan individu lain, tanpa kita tahu alasannya. Bahkan kita sering enggan untuk membahasnya, tetap memaksakan diri untuk bekerja sama, membiarkan gejala itu berlalu, tanpa berusaha untuk mengadakan pendekatan yang lebih dalam. Alhasil hubungan kerja, maupun hubungan sosial menjadi kering,”anyep”, padahal tidak diwarnai konflik yang nyata. Dalam situasi sosial seperti ini, kita pun akan merasa berat untuk menjalin kerja sama, kooperasi karena ”udara” diantara kita, tidak terbangun rasa saling percaya, respek satu sama lain, apalagi hal yang sering disebut ”brotherhood”, alias kekompakan, kesamarataan, dan kesamarasaan.Sebuah kelompok, baru berkekuatan sosial bila ada rasa saling percaya yang dalam,
dimana setiap individu merasakan manfaat dari identitas kelompoknya, memiliki pemahaman yang jelas mengenai masa depan, krisis dan kesulitan, karena adanya sasaran kelompok yang juga dimengerti anggota-anggotanya. Hanya dalam situasi beginilah, kinerja kelompok bisa di-”boost”, selain perubahan dan krisis bisa ditangani.
Gunung Es Proses Sosial
Materi dalam rapat-rapat dan hubungan managerial seperti presentasi, perencanaan, implementasi, metode, segala macam kalkulasi, peramalan dan estimasi adalah materi yang sangat tergantung pada kecerdasan individu. Ini semua kasat mata, bagaikan pucuk gunung es yang kelihatan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kita sering mengalami atau menemui sebuah kelompok kerja yang terdiri dari individu yang masing-masing cerdas, akrab, banyak bergurau satu sama lain, tetapi tidak bekerja optimal di dalam kelompoknya. Dalam hal ini terkesan bahwa proses kerja yang terlihat oke-oke saja, tetapi di bawah sadar ataupun di dalam hati, bagaikan dasar gunung es yang jauh lebih luas dari pucuknya, ada beberapa hal yang tidak pernah dicocokkan, seperti misalnya rasa percaya, nilai-nilai, persepsi serta perasaan. Padahal justru pada bagian bawah gunung es inilah terletak kekuatan yang maha besar.
Istilah ”incorporated” alias jalinan kooperasi yang disebut-sebut Robby Djohan dalam buku barunya ”Lead to Togetherness” mempunyai dasar-dasar yang sangat sederhana, yaitu jalinan rasa percaya dasn kebersamaan. Konon, diantara para pejabat tinggi negara pun sering terlihat gejala, dimana dalam rapat kebinet keputusan sudah disepakati bersama tetapi dalam implementasinya, koordinasi dan koopersai seolah sulit dijalankan. Tidak ada ”alignment”. Bisa kita bayangkan betapa ”human capital” yang dimiliki oleh suatu lembaga atau bahkan negara tersia-siakan bila tidak digarap menjadi ”social capital”.
”Bonding”, ”Bridging”, ”Linking”
Sebenarnya sebagai makhluk sosial, setiap individu diberi bakat untuk membina dan mengembangkan hubungan interpersonal yang intensife. Sayangnya dalam kegiatan bisnis, politik dan bernegara, hubungan interpersonal ini kemudian diletakkan pada prioritas yang rendah. Hubungan kerja, atau kerja sama dibiarkan berada dalam kedangkalan dan berhenti pada tingkat basa-basi, tidak tulus. Mungkin bukan karena dianggap tidak penting, namun disangaka bahwa akan berjalan dan berkembang dengan sendirinya. Padahal, betapa kita melihat bahwa banyak hal ”tidak jalan”, ”tidak terkomunikasiakan” atau ”tidak tersosialisasiakan” karena tidak terbinanya partisipasi, tanggung jawab bersama dan inisiatif dari masing-masing anggota kelompok. Dalam skala pemerintah, misalnya, kita juga menyaksikan betapa sulitnya pemerintah berbagi susah dan masalah dengan ”grassroot” dikarenakan tidak adanya ”bonding” antara pengambil keputusan kebijakan denagan ”orang kecil” yang tidak tahu apa-apa dan hanya menanggung dampak dari keputusan yang dibuat.
Dalam hubungan interpersonal, sebenarnya ”bonding”, ”bridging” dan ”linking”, dilakukan secara sehari-hari, tetapi tergantung frekuensi, fokus, niat dan ”awarness” pelakunya. Arisan keluarga, paguyuban, kekompakan dalam satu divisi, menandakan kapasitas individu untuk saling merangkul dan bersama-sama dalam kelompok yang relatif kecil. Namun tentunya kekompakan ini tidak boleh dibiarkan berhenti di tingkat ini saja, karena hasilnya hanya terbatas pada kinerja kelompok kecil ”Bonding” perlu dilanjutkan dengan upaya ”bridging”, dimana individu dan pemimpin berusaha untuk mengikatkan diri dengaqn individu atau kelompok yang justru berbeda pandangan, keahlian, generasi dan dari jejaring yang lain pula. Bahayanya jika bridging tidak dilakukan adalah ikatan kuat dalam kelompok kecil bisa-bisa menjadikan kelompok tidak percaya pada ’orang luar’, bahkan menutup diri dan tidak bersedia melakukan ”alignment” dengan kelompok lain. Berhubungan timbal balik dan belajar dari institusi dan negara lain, atau ”linking”, akan memudahkan kita mengakses sumber daya dan perubahan. Justru dengan menyambung keberbedaan baik pendapat, pandangan politik, antar-generasi dan sumberdaya, kita membangun modal sosial kita. Hanya dengan cara inilah kita bisa maju dan menyambar kesempatan yang lain.
Modal Sosial
Rasa ”suka”, simpati satu sama lain, pertemanan, kelancaran tukar menukar informasi serta kebersamaan dan solidaritas merupakan modal sosial yang justru sering baru terasa di saat-saat bekerja secara negatif, seperti timbulnya protes-protes dan demo-demo. Padahal solidaritas dan kooperasi perlu dimanfaatkan untuk memperkuat, memperbaiki kinerja, melawan krisis ataupun menghadapi perubahan dan masalah yang tak kunjung berhenti.
Eileen Rachman dan Sylvina Savitri(Expert Assesment Centre)